MAKALAH
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih 2
“Ketidakjelasan
Dalalah dan Tingkatannya”
Dosen
Pengampu: Dra. Hj. Wagiyem, M.Ag.
Disusun
Oleh:
1.
Evi Yuliani 11623168
2.
Mutia Rika Agista
3.
Sari Fitri Yanti 11623163
4.
Vidini Kencana Sasmi
KELAS: II E
Jurusan:
Perbankan Syariah
FAKULTAS SYARIAH
DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI
PONTIANAK
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Dengan
memuji nama dan mengesakan asma Allah
yang telah menganugrahi manusia akal berfikir dan segenap panca indra yang agar
manusia dapat menghayati tanda-tanda keagungan-Nya. Shalawat serta salam semoga
selalu tercurahkan kepada junjungan nabi agung Muhammad SAW beserta seluruh
keluarga dan sahabatnya.
Kami membuat makalah ini bertujuan untuk mempelajari
dan mengetahui ilmu tentang Ushul Fiqih 2 yang diberikan oleh dosen mengenai “Ketidakjelasan Dalalah dan Tingkatannya”.
Selain bertujuan untuk memenuhi tugas, tujuan saya selanjutnya adalah untuk
mengetahui lebih dalam mengenasi nash yang tidak jelas.
Kami menyadari, sebagai seorang pelajar yang
pengetahuannya tidak seberapa yang masih perlu belajar dalam penulisan makalah,
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang positif demi terciptanya makalah yang lebih
baik lagi, serta berguna di masa yang akan datang.
Besar harapan kami, mudah-mudahan makalah yang
sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua orang.
Wassalamualaikum Wr.
Wb.
Pontianak, Maret 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
COVER.............................................................................................................................
i
KATA
PENGANTAR.....................................................................................................
ii
DAFTAR
ISI..................................................................................................................
iii
BAB
I PENDAHULUAN...............................................................................................
1
A. Latar
Belakang...................................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah.................................................................................................
1
C. Tujuan...................................................................................................................
1
BAB
II PEMBAHASAN................................................................................................
2
A. Pengertian
Ketidakjelasan Dalalah.......................................................................
2
B. Tingkatan
Ketidakjelasan Dalalah........................................................................
2
1.
Al-Khofi.........................................................................................................
2
2.
Al-Musykil......................................................................................................
3
3.
Al-Mujmal......................................................................................................
5
4. Al-Mutasyabih................................................................................................
7
BAB
III PENUTUP.........................................................................................................
9
Kesimpulan.......................................................................................................................
9
DAFTAR
PUSTAKA..........................................................................................................
10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian ketidakjelasan dalalah ?
2. Bagaimana
tingkatan ketidakjelasan dalalah al-khofi, al-musykil, al-mujmal dan
al-mutasyabih ?
C. Tujuan
1. Untuk
memahami pengertian ketidakjelasan dalalah
2. Untuk
memahami tingkatan-tingkatan ketidakjelasan dalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ketidakjelasan Dalalah
Dalalah
secara bahasa adalah bentuk mashdar
sima’i dari kata dalla – yadullu
–dalalatan. Kata dalla diartikan
dengan abana (menjelaskan), maka
dalalah berarti menjelaskan sesuatu dengan tanda. Kata dalla juga diartikan dengan hada
(menunjukkan) dan arsyada
(menunjukkan).
Nash yang
tidak jelas dalalahnya yaitu nash yang bentuknya itu sendiri tidak bisa
menunjukkan kepada arti yang dimaksud dari padanya bahkan untuk memahami maksud
dari padanya itu diperlukan faktor dari luar. Jika nash atau dalil itu bisa
dihilangkan kesamarannya dengan jalan meneliti dan melakukan ijtihad, maka
dalil itu disebut al-khafi,atau al-musykil. Dan jika kesamarannya itu tidak
bisa dihilangkan kecuali dengan mengambil penjelasan dari syari’ itu sendiri,
maka dalil itu disebut al-mujmal. Dan jika tidak ada jalan yang sama sekali
untuk menghilangkan kesamarannya itu, maka dalil itu disebut al-mutasyabih.
B.
Tingkatan-tingkatannya
Pada
kaidah ini, penulis akan menerangkan macam-macamnash yang tidak jelas
dalalahnya, dan tingkatan-tingkatan kesamarannya, serta sesuatu yang
menghilangkan kesamarannya.
Berikut ini adalah penjelasan maksud
peristilahan masing-masing dari empat macam tersebut berikut contoh dan
hukumnya:
1. Al-Khofi
Pengertian khafi menurut
bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi. Al-khofi adalah lafal
yang menunjukkan makna arti secara jelas dari lafadz aslinya, akan tetapi dalam
menerapkan arti makna pada sebagian satuannya mengandung ketidakjelasan dan
kesamaran.
Sebab kemunculan kesamaran ini ialah
bahwasannya satuan tertentu didalamnya ada suatu sifat yang melebihi terhadap
satuan-satuan lainnya, atau satu sifat berkurang dari satuan itu atau ia
mempunyai suatu nama khusus. Tambahan, atau kekurangan, atau penamaan khusus
ini menjadikannya sebagai tempat keserupaan. Oleh karena itu, makna lafadz
tersebut adalah samar dalam konteksnya dengan satuan ini, karena pencakupannya
terhadap satuan ini tidak dapat dipahami dari lafadz itu sendiri, bahkan ia haruslah
dengan suatu hal yangkhariji (eksternal).
Contohnya:
Makna pada nash ini jelas,
akan tetapi pada penerapan disebagian makna lain terdapat kesamaran. Seperti
halnya kata as-saariq, pencuri yang artinya mengambil barang orang
lain secara sembunyi-sembunyi. Kemudian diterapkan pada sebagian satuan
maknanya yaitu kata pencopet, korupsi, pencuri barang-barang dalam kuburan,
kata ini mengandung makna yang samar sehingga membutuhkan penelitian yang
mendalam dan ijtihadnya para ulama. Pencopet lebih bermakna mengambil barang
orang lain secara terang-terangan. Perbedaan dengan pencuri adalah pencopet
memiliki keberanian mencuri sehingga ia lebih khusus penamaannya. Sedangkan
yang mencuri harta mayit dengan menggali kuburannya, sedikit orang yang
menjadikan ia sebagai pencuri. Karena ia mencuri harta yang tidak ada
kepemilikannya dan penjagaannya.
Dan para ulama bersepakat jika pencopet
itu sebagai pencuri yang harus dipotong tangan dengan dalil
dari nash yang jelas, sedangkan pencuri harta mayit ulama berselisih
dalam penetapannya. Imam asy-Syafi’i dan Abu Yusuf berkata ia ditetapkan
sebagai pencuri dan harus dipotong tangan, sedangkan sebagian ulama Hanafiyah
berkata ia bukan pencuri maka tidak harus dipotong tangan, namun cukup
dipenjarakan.
Hukum al-khofi yaitu
diwajibkan pencarian dan penelitian yang mendalam untuk menjelaskan maknanya.
Memikirkan sebab ketidakjelasannya,
dan setiap ahli ilmu memiliki pandangan masing-masing. Dan
wajib bagi mujtahidmencari makna sampai menjelaskannya dari lafadz yang
samar tersebut.
2. Al-Musykil
Secara
bahasa, al-musykil adalah ketidakjelasan, kekacauan, kesamaran.
Menurut ulama ushul adalah sesuatu yang tidak dapat dipahami sampai
ada dalil lain yang menjelaskannya.
Musykil adalah
lafadz yang tidak jelas maknanya, maka tidak mungkin dapat memahaminya kecuali
dengan penelitian yang mendalam sehingga diperlukan qarinah dan dalil
lain yang dapat menjelaskannya.
Perbedaannya
dengan khofi yaitu pada dzat lafadznya,
sedangkan musykil pada dzat nashnya yang tidak dapat dipahami kecuali
dengan dalil lain.
Kemunculan dalam nash, terkadang
dari lafadz yangmusytarak. Karena lafadz musytarak ditetapkan
menurut bahasa untuk lebih dari satu makna. Sedangkan dalam shigatnya
tidak terdapat suatu penunjukkan kepada makna tertentu yang ditetapkan
untuknya. Oleh karena itu, maka harus ada qarinah yang eksternal yang
menunjukkannya.
Contohnya:
Contoh musykil adalah adalah
lafadz musytarak(polisemi: lafadz yang menunujukkan dua arti atau lebih
secara bergantian), seperti kata quru’, ‘ain.
Pada kata quru’ dalam firman
ta’ala, ini musytarak antara haidh dan suci Terdapat kesulitan dalam
memahami kata ini, apakah itu haidh atau suci?
Madzhab Hanafiyah dan Hanabilah
berpendapat quru’ini adalah haidh. Dengan merujuk pada hadits, ( عِدَّةُ الْأَمَةِ حَيْضَتَانِ), dan tidak ada
perbedaan antara budak dengan wanita merdeka dalam hal iddah ini.
Demikian juga hadits ( اَلْمُسْتَحَاضَةُ تَدْعُ الصَّلاَةَ أَيَامُ وَأَقْرَائِهَا), ini
menjelaskan bahwasannya disyariatkannya iddah ini untuk mengetahui sucinya
rahim dari sebab kehamilan, dan semua itu akan diketahui dengan
haidh. Qarinahnya ialah:
Pertama : hikmah pentasyri’an iddah.
Hikmah dalam pewajiban iddah diatas wanita yang ditalak ialah mengetahui
kebersihan rahimnya dari kehamilan. Sedangkan yang memberitahukan hal ini
adalah haidh bukan suci.
Kedua : Firman Allah ta’ala :
وَاللَّائِي
يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ
ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
Artinya :
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh
lagi (menopause) diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang
masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haidh”.
Firman tersebut menetapkan alasan iddah
dengan beberapa bulan karena ketiadaan haidh. Ini menunjukkan bahwa asalnya
beriddah adalah dengan haidh.
Ketiga : Sabda Rasulullah SAW., :
طَلاَقُ الْاَمَةِ
ثِنْتَانِ وَ عِدَّ تُهَا حَيْضَتَانِ
Artinya :
“Talak hamba sahaya perempuan dua kali, dan
iddahnya dua kali haidh”.
Penegasan bahwa iddah hamba sahaya
perempuan dengan haidh merupakan penjelasan terhadap yang dimaksud dengan
lafadz al-qur’u dalam iddah perempuan yang merdeka. Adapun
pentaksisan nama hitungan, maka ia dimaksudkan untuk kemudzakaram lafadz yang dihitungnya,
yaitu lafadz al-qur’u.
Sedangkan pendapat madzhab Malikiyah dan
Syafi’iyah menyatakan makna quru’ ini adalah suci. Karena pentafsiran
kata quru’ adalah suci lebih dekat dengan kata aslinya. Tidak
diragukan juga bahwasannya masa suci adalah berkumpulnya darah didalam rahim,
sedangkan masa haidh adalah masa mengeluarkannya darah. Qarinahnya ialah
pentaknitsan isim ‘adad (nama hitungan), karena hal itu menunjukkan bahwasannya
yang dihitung adalah mudzakkar (laki-laki), yaitu suci, bukan haidh.
Hukum musykil ini adalah harus
adanya penelitian dan pemikiran makna kata lafadz musykil ini,
kemudian menjelaskannya dengan menggunakan qorinah dan dalil dari luar seperti
nash lain, kaidah syara’ dan hikmah pentasyri’annya. Tidak boleh
mengamalkannya sebelum mengetahui maknanya. Dan mempercayainya bahwa ini
adalah kebenaran. Sehingga membutuhkan penelitian makna lafadz yang samar ini
kemudian berijtihad mengeluarkan maknanya dengan qorinah dan dalil lain.
Jalan untuk menghilangkan kemusykilan
nash yang musykil adalah ijtihad. Apabila ada lafadz musytarak dalam
nash, maka seorang mujtahid harus mempergunakan saran qarinah dan dalil-dalil
yang dikemukakan oleh pembuat hukum untuk kemusykilannya dan menentukan yang
dimaksud dari lafadz itu, sebagaimana ternyata dari ijtihad para mujtahid dalam
menentukan maksud lafadz al-qur’u dalam ayat tersebut, dan perbedaan orientasi
pandangan mereka dalam penetuan ini. Apabila ada nash-nash yang dzahirnya
saling bertentangan dan kontradiksi, maka seorang mujtahid haruslah mentakwilnya
dengan suatu pentakwilan yang shahih yang mengsistensiskan antara nash-nash itu
dan menghilangkan sesuatu yang ada pada dzahirnya terdapat kontradiksi dan
pertentangan. Pedomannya dalam pentakwilan ini ialah ada kalanya nash lain,
atau kaidah-kaidah syara’, atau hikmah pentaysri’an.
Kata
yang mengandung musykil tidak bisa ditentukan satu arti tertentu dari
beberapa makna yang dikandungnya, kecuali dengan melihat dalil.
3. Al-Mujmal
Mujmal dalam bahasa adalah global atau
tidak terperinci. Mujmal adalah lafadz yang tersembunyi maknanya
dengan kesamaran lafadznya sendiri, tidak akan mengetahuinya kecuali dengan
penjelasan, tidak juga memahaminya tanpa adanya qorinah yang menjelaskan makna
lafadz tersebut. Dan secara umum mujmal adalah lafadz yang
tersembunyi maknanya dan tidak akan mungkin memahami maknanya kecuali dengan
adanya penjelasan. Jadi sebab kesamaran adalah bersifat lafadz (tekstual),
bukan hal yang datang kemudian. Al-Bazdawy berkata dalam kitab
ushulnya, mujmal merupakan suatu lafadz yang maknanya mengandung
ketidakjelasan dan kesamaran, tidak dapat memahaminya dengan kata itu sendiri.
Akan tetapi harus kembali pada penjelasan dengan suatu penelitian. Artinya, apa
yang dimaksudkan tidak bias diketahui begitu saja dari ungkapan itu sendiri,
tetapi harus ditafsirkan, diteliti, dan dipikirkan secara mendalam.
Macam-macam mujmal:
a. Mujmal
mufassir, adalah lafadz yang maknanya berbenturan antara mufassir dengan syar’i dari
makna itu sendiri, seperti dirikanlah shalat.
b. Mujmal
musykil, adalah lafadz yang berbenturan maknanya dan belum dijelaskan
oleh syar’i dan meninggalkan perkana ini menuju pada mujtahid.
c. Mujmal
musytarik, adalah lafadz yang berbenturan maknanya dan dapat dicabut qarinah
maknanya pada salah satu makna.
Sebab-sebab mujmal:
a) Adanya isytirak tanpa
adanya qorinah, seperti lafadz tuan
atau majikan.
b) Keasingannya
lafadz dalam bahasa, seperti kalimat al-qari’ah, al-haqqah. Tidak
dapat kedua makna ini sampai Allah menjelaskan maknanya. Dan maksudnya adalah
hari kiamat.
c) Kekurangannya
makna lughawi terhadap makna istilah syar’i. seperti lafadz
shalat, zakat, dan riba.
Contohnya:
Banyak contoh kata-kata yang khusus dari
al-Qur’an mengenai hukum taklifinya yang
berbentuk mujmal. Sehingga memutuskan hukum dan menjelaskan
ketentuan-ketentuannya harus dengan sunnah. Perintah shalat, misalnya, suatu
perkara yang mujmal dan penjelasannya dengan sunnah dalam bentuk
perkataan dan perbuatan Rasulullah. Sebagaimana sabdanya, “Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihatku shalat”.
Demikian pula dengan lafadz mujmal
lainnya, seperti zakat, puasa haji, dan riba, serta segala sesuatu yang datang
secara mujmal dalam nash-nash al-Qur’an.
Demikian, kita tidak
mendapatkan mujmal disebutkan dalam al-Qur’an kecuali dengan
penjelasan dari sunnah dan hukum-hukumnya secara terperinci.
Hukum mujmal, tidak boleh mengamalkannya
sampai maknanya jelas kembali pada aslinya dengan penjelasan syari’at lain yang
sejelas-jelasnya. Jika belum ada penjelasan secara jelas maka mujmal itu
mengandung musykil dan mujtahid akan memisahkan mujmal dari kemusykilannya.
4. Al-Mutasyabih
Mutsyabih secara bahasa diambil
dari kata at-tasyabuhyang berarti ketidakjelasan, kesamaran atau
kekacauan.
Secara
istilah, mutasyabih adalah lafadz yang tersembunyi maknanya, dan
tidak ada jalan untuk mengetahui makna tersebut, dan tidak mungkin tercapai
oleh nalar akal para ulama sekalipun dalam menerangkannya. Tidak didapatkan
juga pentafsiran makna ini, baik
secara qathi’ maupun dzanni dari al-Qur;an maupun sunnah.
Dalam
pembahasan ini kita akan membicarakan 2 perkara, sebagai berikut:
a. Adanya mutasyabih didalam
al-Qur’an. Tidak satupun manusia yang mengetahunya kecuali Allah, sebagaimana
disebutkan dalam firman-Nya, surat Ali Imran ayat 7.
Para
ulama bersepakat dengan adanyamutasyabih dalam nash al-Qur’an. Akan
tetapi, para ulama berselisih dalam hal peletakanmutasyabih ini. Ibnu Hazm
berkata, “Tidak adamutasyabih dalam al-Qur’an kecuali huruf-huruf
muqotho’ah pada awal surat, dan sumpahnya Allah ta’ala dalam al-Qur’an, sebagaimana
termaktub dalam firman-Nya.
Sebagian
para ulama menambahkan ayat-ayat yang didalamnya mengandung persamaan dengan
Allah. Seperti halnya tangan Allah, yang terdapat pada surat Al-Fath ayat 3.
b. Ayat-ayat
yang berisi tentang taklif, dan penjelasan hukum-hukum syari’at islam yang
didalamnya tidak mengandung tasyabuh saja. Akan tetapi, semuanya
menjelaskan secara jelas, baik pada dzat lafadznya maupun dengan
penjelasan hadits Nabi SAW.
Contohnya:
Sebagaimana yang telah disebutkan
diatas, contok lafadz yang mengandung mutasyabih diantaranya:
Huruf-huruf muqotho’ah yang terdapat pada
awal surat dalam al-Qur’an, seperti :
ألم، الر، حم، كهيعص، ص،
ن
Sifat-sifat Allah yang menggambarkan
kemiripan dengan makhluk-Nya, seperti tangan, mata, tempat semayam.
Sumpah Allah dalam al-Qur’an, yang terdapat pada
surat Al-Qari’ah ayat 1-3.
Huruf-huruf abjad yang terpotong-potong
pada permulaan sebagian surat tidaklah mungkin menunjukkan dengan sendirinya
terhadap maksudnya. Allah tidaklah menafsirkan apa yang dikehendaki-Nya dari
huruf-huruf itu. Dialah yang paling tahu maksudnya. Demikian pula ayat-ayat
yang dzahirnya menimbulkan dugaan penyerupaan Khaliq dengan makhluk-Nya, tidak
mungkin dari ayat tersebut dipahami pengertian lafadz itu secara kebahasaan,
seperti tangan, mata, tempat dan segala sesuatu yang menyerupai makhluk-Nya.
Tiada sesuatu yang semisal Dia. Allah tidak menjelaskan apa yang
dikehendaki-Nya dari lafadz-lafadz itu. Dia Yang paling tahu dengan maksud-Nya.
Ini adalah pendapat ulama salaf mengenai pengertian mutasyabih. Mereka
menyerahkan kepada pengetahuan Allah dan mengimaninya, serta tidak membahasnya
dengan mentakwilnya. Adapun pendapat Khalaf, bahwasannya ayat ini dzahir maka
wajib ditakwilkan dan dipalingkan dari yang dzahir itu, dan dimaksudkan makna
yang mungkin bagi lafadz itu, meskipun dengan cara majaz, yang tidak ada
penyerupaan Khaliq dengan makhluk-Nya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas bisa ditarik
kesimpulan bahwa:
1.
Dalalah secara bahasa berarti dalalah
berarti menjelaskan sesuatu dengan tanda.
2.
Nash yang tidak jelas dalalahnya yaitu nash yang
bentuknya itu sendiri tidak bisa menunjukkan kepada arti yang dimaksud dari
padanya bahkan untuk memahami maksud dari padanya itu diperlukan faktor dari
luar.
3.
Pengertian khafi menurut
bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi. Al-khofi adalah lafal
yang menunjukkan makna arti secara jelas dari lafadz aslinya, akan tetapi dalam
menerapkan arti makna pada sebagian satuannya mengandung ketidakjelasan dan
kesamaran.
4.
Secara
bahasa, al-musykil adalah ketidakjelasan, kekacauan, kesamaran.
Menurut ulama ushul adalah sesuatu yang tidak dapat dipahami sampai
ada dalil lain yang menjelaskannya.
5.
Mujmal dalam bahasa adalah global atau
tidak terperinci. Mujmal adalah lafadz yang tersembunyi maknanya
dengan kesamaran lafadznya sendiri, tidak akan mengetahuinya kecuali dengan
penjelasan, tidak juga memahaminya tanpa adanya qorinah yang menjelaskan makna
lafadz tersebut.
6.
Secara
istilah, mutasyabih adalah lafadz yang tersembunyi maknanya, dan
tidak ada jalan untuk mengetahui makna tersebut, dan tidak mungkin tercapai
oleh nalar akal para ulama sekalipun dalam menerangkannya. Tidak didapatkan
juga pentafsiran makna ini, baik
secara qathi’ maupun dzanni dari al-Qur;an maupun sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
http://druffy-blog.blogspot.co.id/2010/11/dalalah-yang-jelas-dan-yang-samar.html
http://alfath-cingcau.blogspot.co.id/2015/10/dalil-yang-tidak-jelas-dan-tingkatan.html
http://tarbiyyah-blog.blogspot.co.id/2012/05/lafadz-dari-segi-ketidak-jelasannya.html
http://tarbiyyah-blog.blogspot.co.id/2012/05/lafadz-dari-segi-ketidak-jelasannya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar